MAKALAH KESENIAN TARI LEGONG KERATON DESA SUKAWATI BALI


KESENIAN TARI LEGONG KERATON
 DESA SUKAWATI BALI



Disusun Oleh :
Freund des Asa Zuniga Rupadatu
NIM : 1710135017


Untuk memenuhi Tugas
Mata Kuliah
Seni Pertunjukan Indonesia




PROGRAM STUDI S1 SENI DRAMA TARI DAN MUSIK
JURUSAN SENI DRAMA TARI DAN MUSIK
FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN
INSTITUT SENI INDONESIA YOGYAKARTA
2018

BAB I
PENDAHULUAN

1.1     Latar Belakang
Indonesia adalah bangsa yang majemuk, dengan keanekaragaman dan keunikan yang memiliki ciri khas tersendiri. Indonesia terdiri dari banyak pulau dan memiliki berbagai macam suku bangsa, bahasa, adat istiadat, dan seni khas daerah atau yang sering disebut dengan kesenian daerah.
Kesenian sebagai salah satu unsur kebudayaan dalam berbagai bentuk, pada dasarnya adalah untuk kepentingan manusia sehingga dapat bermanfaat dalam kehidupannya (Koentjaraningrat, 1990:215). Kesenian merupakan sarana yang dapat digunakan sebagai cara untuk menuangkan rasa keindahan dari dalam jiwa manusia. Maka, apabila dilihat dari segi estetika, kesenian menjadi sebuah simbol terhadap budaya dari suatu tempat. Kesenian merupakan salah satu kekayaan yang sangat bernilai karena merupakan ciri khas dari suatu daerah dan menjadi lambang dari kepribadian suatu bangsa atau daerah. Apabila kesenian merupakan kekayaan yang sangat bernilai, maka dalam menjaga, memelihara dan melestarikan seni merupakan kewajiban dari setiap individu.
Seni pertunjukan pada dasarnya adalah hasil karya kolektif yang memiliki fungsi penting dalam berbagai aspek kehidupan manusia, baik sosial maupun spiritual. Seni pertunjukan yang ditampilkan dalam upacara adat mempunyai fungsi sosial yang amat sangat penting karena dapat memberikan dorongan solidaritas pada masyarakat dalam rangka mempersatukannya (Sedyawati, 1981:55).
Dalam sejarah fungsi tertua seni pertunjukan adalah untuk upacara, kemudian lambat laun mengalami perkembangan yang berfungsi sebagai hiburan pribadi dan akhirnya sebagai tontonan. Namun pada zaman modern yang penuh perubahan ini fungsi seni pertunjukan yang paling tua masih ada yang lestari, ada yang fungsinya bergeser meskipun bentuknya tidak berubah dan ada yang fungsinya bergeser serta bentuknya berubah ataupun tumpang tindih. Maka secara garis besar, seni pertunjukan memiliki tiga fungsi primer yaitu sebagai sarana ritual, sebagai hiburan pribadi dan sebagai presentasi estetis (Soedarsono, 1998:57).
Dari banyaknya pulau di Indonesia, pulau Bali merupakan salah satu pulau yang terkenal dengan kebudayaan yang khas. Kebudayaan dan kesenian yang ada di pulau Bali ini memiliki daya tarik yang sangat kuat bagi para wisatawan asing maupun lokal. Selain di bidang pariwisata, pulau Bali juga terkenal dengan berbagai macam tari-tarian tradisional. Menurut I Madé Bandem, masyarakat Bali telah mengklasifikasikan tari Bali berdasarkan sifat dan fungsinya menjadi: tari Wali (tarian sakral), tari Bebali (tari untuk upacara keagamaan), dan tari Balih-balihan (untuk tontonan dan hiburan).
Dari semua tarian Bali klasik, Legong mungkin paling akrab bagi penonton dari Barat. Hal ini disebabkan karena tari Legong memiliki struktur gerakan yang sangat khas dan kompleks. Tari Legong termasuk dalam jenis tari balih-balihan tertua di pulau Bali. Tari balih-balihan adalah tari yang tidak termasuk sakral dan hanya berfungsi sebagai hiburan serta tontonan yang mempunyai unsur dasar seni tari yang luhur.
 Tarian ini sering juga disebut tari Legong Keraton. Hal ini dikarenakan Legong Keraton hidup dan berkembang di lingkungan istana. Tari Legong Keraton adalah salah satu tari klasik yang dipercaya sebagai sumber inspirasi munculnya tari kreasi baru di Bali. Desa Sukawati, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali merupakan tempat awal diciptakannya tari Legong. Tari Legong berasal dari desa Sukawati yaitu di Puri Paang Sukawati. Setelah itu tari Legong Keraton berkembang ke berbagai pelosok desa di Bali seperti di Puri Agung desa Saba yang sekarang di Puri Taman Saba, di Peliatan, di Bedulu, di Benoh Denpasar, dan lain sebagainya (Kesuma, 2011).
Saat ini, Desa Sukawati lebih terkenal dengan pasar seninya, daripada kesenian tari Legong. Padahal tari Legong Keraton ini berasal dari Desa Sukawati yang mungkin hanya menjadi romantisme masa lalu. Terlihat bahwa masyarakat Sukawati generasi masa kini terasa tak memiliki ikatan batin lagi dengan masterpiece tari Bali ini (Suartaya, 2011). Maka dari itu, alasan penulis memilih topik ini karena tarian ini harus lebih dikembangkan dan dilestarikan supaya kesenian ini tidak hilang di tengah perkembangan zaman yang ada.

BAB II
ISI

2.1         SEJARAH TARI LEGONG
Kata legong berasal dari kata “leg” yang berarti gerak tari yang luwes atau lemah gemulai, sementara “gong” berarti gamelan. Kata “leg” dan “gong” digabung menjadi Legong yang mengandung arti gerakan yang diikat, terutama ketepatan gerakan oleh gamelan Bali yang mengiringinya (ngigelin gendhing).
Tari Legong mulai dikenalkan kepada turis sekitar tahun 1927 di Bali Hotel yang merupakan hotel tertua di Bali diperkirakan menjadi tempat pentas tari Legong pertama kali. Meskipun diluar itu sudah banyak turis yang datang sendiri ke tempat pertunjukan Legong. Menurut Wayan Dibia, seni pertunjukan di Bali adalah bagian dari tradisi lisan yang tidak memiliki dokumentasi secara permanen, tidak ada cukup bukti yang menyebutkan darimana dan kemana bergeraknya Legong. Legong makin dikenal pada tahun 1931, sejak tarian ini diperkenalkan ke dunia Internasional.
Sebuah kisah menarik tentang asal-usul tarian Legong yang terjadi sekitar pergantian abad ke-19, dibeberkan dalam Babad Dalem Sukawati, sebuah kronologi silsilah Kerajaan Sukawati. Desa Sukawati terletak di Kabupaten Gianyar yang dikenal karena tradisi dan tingginya mutu seni pertunjukan.
Menurut cerita, Legong diciptakan sebagai hasil impian yang datang dari raja yang berkuasa, I Dewa Agung Madé Karna, yang termasyhur karena kekuatan spiritualnya. Suatu hari, ketika ia sedang bersemedi atau melakukan meditasi di Pura Yogan Agung di Desa Ketewel, dekat Sukawati, I Dewa Agung Madé Karna bermimpi melihat gadis-gadis kayangan yang menari di surga. Tariannya menyerupai tarian para gadis dalam pertunjukan tari Sang Hyang Dedari dalam keaadaan kerasukan, tetapi pakaiannya tidak hanya putih melainkan lebih berwarna-warni. Sedangkan hiasan kepalanya juga berwarna keemasan, tidak sesederhana tari Sang Hyang Dedari. Ketika terbangun dari mimpi, I Dewa Agung Madé Karna memanggil kepala Desa Ketewel dan memintanya untuk membuat beberapa topeng untuk menciptakan tarian baru yang menyerupai tarian yang ia lihat dalam mimpi. Sembilan topeng sakral dipahat dan diwarnai oleh seniman desa itu, topeng-topeng itu menggambarkan sembilan bidadari kayangan dalam mitologi Hindu. Dua gadis penari Sang Hyang yang masih muda diambil untuk menari dengan topeng dan diajari bentuk tarian baru. Topeng-topeng itu masih tersimpan di Pura Yogan Agung, tempat dimana setiap enam bulan sekali tarian tua itu dipertunjukkan. Koreografi tarian yang terlihat dalam Sang Hyang Legong, begitulah tarian baru itu disebut, sangat sederhana tetapi bentuknya terdiri dari semua gerakan dasar yang ditemukan dalam tarian klasik Legong. Sang Hyang Legong termasuk tarian wali dan dipertunjukkan di areal jeroan pura. Beberapa waktu kemudian, sebuah kelompok tari yang disutradarai I Gusti Ngurah Jelantik (anggota keluarga Jelantik dari Blahbatuh) menciptakan tarian baru dengan gaya yang mirip Sang Hyang Legong. Dalam bentuk tarian baru yang kemudian disebut Nandir itu, penarinya para remaja laki-laki dan tidak menggunakan topeng. Tari Nandir suatu kali disaksikan Raja Gianyar dan ia sangat terkesan, sehingga ia memesan sepasang seniman dari Sukawati untuk membuat koreografi tarian yang mirip Nandir dengan penari remaja putri di istana. Hasil dari koreografi pesanan itu menjadi dasar tari Legong yang diketahui sampai sekarang. Sayangnya tari Nandir itu sendiri sudah punah. Tari Nandir lebih klasik daripada Legong dan dikisahkan dengan sangat indah. Tari Nandir yang tua itu menghilang bersamaan dengan meninggalnya I Wayan Rindi dari Denpasar pada tahun 1976. Pak Rindi semasa mudanya merupakan penari yang dilatih untuk menjadi penari Nandir di Blahbatuh dan dikenal luas selama bertahun-tahun sebagai guru Legong. (I Madé Bandem, 2004:98).

2.2         KOREOGRAFI DAN STRUKTUR TARI LEGONG
Legong termasuk tarian dasar yang cenderung sulit. Dalam menari Legong membutuhkan beberapa teknik agar tarian terlihat indah. Penjiwaan sangat berperan penting pada tarian Legong karena tari ini berkarakter sangat kuat. Tarian ini biasanya ditarikan oleh dua atau tiga gadis remaja. Penari kecil itu mengenakan hiasan kepala dan kostum yang khas, ketika mereka menarikan dramatari yang sangat abstrak dengan iringan ansambel musik kuno dan manis yakni gamelan palegongan.
Para pencipta tari Legong menggabungkan elemen wali dan bebali untuk mengembangkan bentuk tarian baru. Struktur koreografi dan musiknya berasal dari dramatari Gambuh, sedangkan jenis-jenis gerakannya bisa ditemukan dalam tradisi tari Sang Hyang Dedari. Dalam Legong, bagian tari pembukaan murni yang memperkenalkan tokoh penting dalam genre bebali (igel ngugal) diperluas dan dikembangkan. Elemen naratifnya, meskipun masih muncul dalam bentuk pokok, tetapi tidak dipertegas lagi. Sehingga hasilnya sangat sesuai menuju suatu komposisi tari murni.
Koreografi pertunjukan tari Legong mengikuti musik, yang diadaptasi dari iringan Gambuh. Penampilan bagian pertama yang panjang, yang sama dalam semua cerita dimunculkan, diiringi oleh sebuah komposisi dalam tiga bagian yaitu pengawit (kepala), pengawak (tubuh) dan pengecet (ekor).
Pengawit adalah bagian awal dari dari sebuah iringan tari sebagai pembuka sebelum penari memasuki panggung. Pada bagian inilah penari menarikan ide utama dari tari tersebut. Dalam pengawit, ada tiga penari kecil yang diperkenalkan. Salah satu penari itu mengenakan pakaian yang sangat berbeda dari dua penari yang lain dan muncul terlebih dahulu. Penari itu disebut condong atau abdi wanita. Ia menari cukup panjang dengan dua kipas yang akan ia persembahkan kepada tuan-tuan putrinya ketika mereka muncul. Ia menari selama 10 menit dalam tarian tunggal yang rumit dan sulit, ia menjelajah ke seluruh panggung dan mendemonstrasikan seluruh jenis-jenis gerakan gaya Legong yang indah. Ia menyambut tuan-tuan putrinya yang kecil dengan sopan, duduk di hadapan tuan putrinya, kemudian memberikan kipas sebelum pergi.
Kemudian penari biasanya keluar pada bagian pepeson. Lalu bagian pengawak dimulai. Bagian ini sangat elegan dan lebih lambat daripada bagian pengawit. Bagian pengawak adalah bagian inti dari suatu iringan tabuh. Dalam pertunjukan klasik yang lengkap, tarian ini bisa dilakukan selama 20 menit. Dua penari bergerak dalam keseragaman dengan pola-pola koreografi yang simetris dan dalam koordinasi yang ketat dengan suara gendang dan simbal. Selanjutnya tempo iringan dinaikkan pada bagian pengecet, yang menandakan sebuah tarian akan selesai. Bagian pengecet dimulai ketika gamelan menggandakan temponya. Sang penari saling berhadapan dan menari dengan semangat tetapi singkat. Mereka saling menatap, melirik-lirikan matanya dengan cepat dan menggoyangkan kepalanya dari sisi ke sisi lain. Kipas mereka digerakkan secara aktif, hampir membentuk sebuah desain di udara. Temponya berakselerasi, semakin lama semakin cepat dan tiba-tiba berhenti. Pada akhir iringan, yaitu bagian pekaad, tarian telah selesai dan penari meninggalkan panggung.

2.3         KOSTUM TARI LEGONG
Ciri khas tari Bali terletak pada kostum-kostum yang berwarna cerah sehingga terlihat hidup. Walaupun demikian, setiap tari Bali memiliki kostum yang bermacam-macam seperti pada kostum tari Legong. Legong pada umumnya menggunakan kostum berdasarkan tema, cerita atau lakon yang dibawakan penari.
Kostum yang biasanya digunakan penari Legong, yaitu : kain prada, baju prada, stagen prada, lamak, tutup dada, badong bundar, gelang kana, ampok-ampok, gelungan dan properti kipas. Kostum tari Legong pada umumnya tidak banyak berubah, perbedaan ciri khas yang menonjol setiap tarian Legong terletak pada warna kostum. Untuk tari Legong Keraton saat ini menggunakan warna merah muda untuk penari condong dan warna hijau untuk penari legong.

2.4         TEKNIK DASAR TARI LEGONG
Seorang penari Bali harus mampu untuk memainkan atau menggerakkan seluruh anggota badannya. Terutama pada tari Legong, karena gerakannya kompleks, lincah dan dinamis. Terdapat beberapa contoh gerakan dalam Legong secara umum, yaitu:
1.             Tapak Sirang Pada (posisi telapak kaki keduanya menyerong dan membentuk sudut 45 derajat),
2.             Ngegol (gerakan berjalan dengan menggerakkan pinggul ke kanan dan kiri)
3.             Ngumbang (gerakan berjalan dengan badan rendah sambil menggerakkan kepala ke kanan dan kiri),
4.             Mungkah Lawang (gerakan tangan di depan wajah sebagai pembuka tarian),
5.             Jeriring (gerakan jari-jari tangan yang bergetar halus sesuai alunan gamelan),
6.             Ngeseh (gerakan menggetarkan kedua bahu),
7.             Lelok (merebahkan badan ke kanan dan kiri)
8.             Ngepik (merebahkan leher ke kanan dan kiri)
9.             Kipekan (menolehkan kepala ke diagonal kanan dan kiri)
10.         Tangkep (gerakan merubah ekspresi muka untuk menjiwai tarian)
11.         Sledet (gerakan mata ke diagonal kanan dan kiri)

2.5         PERKEMBANGAN TARI LEGONG
Pengembangan Legong dengan kekhasan gaya daerah masing-masing sangat dipengaruhi oleh tokoh yang membawanya. Semula tarian ini tidak diberikan nama Legong Kraton, hanya sekitar tahun 30an, ketika tari Legong ini dibawa ke pulau Jawa dan istilah Kraton itu ditempelkan menjadi sebuah tarian yang bernama Tari Legong Kraton seperti yang dikenal saat ini.
Perjalanan Legong sebagai seni pertunjukan cukup panjang, hingga membentuk banyak gaya tari seperti yang dikenal masyarakat saat ini. Perkembangan gaya inilah, yang membuat tari Legong menjadi makin terkenal dan menyebar luas di kalangan masyarakat Bali. Bahkan hampir setiap desa di Bali memiliki tari Legong sendiri, seperti contohnya di desa Sukawati. Walaupun banyaknya perkembangan yang terjadi, saat ini Legong tetap dipertunjukkan sebagai hiburan pada festival-festival pura di berbagai desa.
Dalam kaitannya dalam dunia pendidikan tari di Bali, Legong merupakan salah satu tarian yang dijadikan sebagai awal atau fondasi seorang penari Bali putri. Karena menurut I Madé Bandem, ketika penari Bali sudah menguasai Legong, semua tarian Bali sangat mudah untuk dikuasai. Karena apabila diawali dari tari Legong, beliau memiliki keyakinan dan pengalaman bahwa penari Bali putri akan mudah untuk masuk ke tarian Bali lainnya. Pada dasarnya, ketika masuk ke dalam tarian yang lain, penari Bali hanya memperlembut kualitasnya, memperbesar posisi tangan ataupun memberikan suatu ungkapan dramatik yang berbeda. Tetapi bahwa semua bentuk gerak dasar itu sudah terdapat dalam tarian Legong.

BAB III
SIMPULAN

3.1         Kesimpulan
Setelah dilakukannya pengumpulan data mengenai Kesenian Tari Legong Keraton Desa Sukawati, dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu :
1.             Tari Legong Keraton adalah salah satu tari klasik yang dipercaya sebagai sumber inspirasi munculnya tari kreasi baru di Bali.
2.             Legong termasuk tarian dasar yang cenderung sulit.
3.             Koreografi pertunjukan tari Legong mengikuti musik, memiliki sebuah komposisi dalam lima bagian yaitu pengawit (kepala), pepeson, pengawak (tubuh), pengecet (ekor) dan pekaad (akhir).
4.             Kostum yang biasanya digunakan penari Legong, yaitu : kain prada, baju prada, stagen prada, lamak, tutup dada, badong bundar, gelang kana, ampok-ampok, gelungan dan properti kipas.
5.             Perjalanan tari Legong Kraton sebagai seni pertunjukan cukup panjang, hingga membentuk banyak gaya tari seperti yang dikenal masyarakat saat ini.

BAB IV
DAFTAR ACUAN

4.1         Sumber Tertulis
F.X Widaryanto. 2007. Antropologi Tari. Bandung: STSI Press Bandung.
Bandem, I Madé. 1996. Evolusi Tari Bali. Yogyakarta: Kanisius.
Bandem, I Madé and Fredrik deBoer. 2004. Kaja dan Kelod Tarian Bali dalam Transisi. Yogyakarta: Badan Penerbit Institut Seni Indonesia Yogyakarta.
Arini, Ayu Kusuma. 2004. Tari Kakebyaran Ciptaan I Nyoman Kaler. Denpasar: Pelawa Sari.

4.2         Webtografi
Balinese Dance, diunduh dari https://legongdance.byethost8.com/m=1 diakses pada 8 Desember 2018 pukul 21.00 WIB

4.3         Narasumber
H. Yatno Waluyat (65 tahun), Mantan Guru “LKP Sanggar Tari Bali Saraswati”, Wawancara tanggal 10 Desember 2018, di Jalan Brajomulyo, Condong Catur, Yogyakarta.


BAB V
LAMPIRAN

Gambar 1
Iga saat menari Tari Legong Kraton
(Foto: koleksi Freund des Asa Zuniga)

Gambar II
Wawancara dengan H. Yatno Waluyat
(Foto: koleksi Freund des Asa Zuniga)

Related Posts:

0 Response to "MAKALAH KESENIAN TARI LEGONG KERATON DESA SUKAWATI BALI"

Posting Komentar